Jakarta – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana menyatakan kejaksaan telah mengabulkan lima permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Hal itu disampaikan Fadil pada Kamis, 17 Maret 2022, secara daring kepada sejumlah kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri yang mengajukan permohonan tersebut.
Baca juga : Aktifis Perempuan Nilai Positif Kejari Jember Lakukan Keadilan Restoratif untuk Perempuan Hamil
Lima perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif yaitu:
Pertama, perkara pelanggaran Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan tersangka Edi Haryanto bin Slamet dari Kejaksaan Negeri Prabumulih.
Kedua, perkara pelanggaran Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang penganiayaan dengan tersangka Susanto alias Santok bin Sakemin dari Kejaksaan Negeri Kota Mojokerto.
Ketiga, perkara pelanggaran Pasal 351 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang penganiayaan dengan tersangka Septi Ariadi alias Ari bin Mansur dan Herman bin Nursin dari Kejaksaan Negeri Lamandau.
Keempat, perkara pelanggaran Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang penganiayaan dengan tersangka Fransiskus Paskalis Rahanau dari Kejaksaan Negeri Kaimana.
Kelima, perakara dengan tersangka Nana Ambang Sari alias Nana binti Bukri Nasidi dari Kejaksaan Negeri Lebong yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang penganiayaan.
Baca juga : Perempuan Hamil dengan Tiga Anak Bebas dari Tuntutan melalui Langkah Restorasi
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, menerangkan bahwa penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif itu diberikan karena para tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana atau belum pernah dihukum.
Selain itu, ancaman pidananya tidak lebih dari 5 tahun serta telah melaksanakan proses perdamaian hingga tersangka meminta maaf dan korban memberikan maaf. Tersangka pun berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Proses perdamaian tersangka dengan korban dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
Kedua pihak juga setuju tidak melanjutkan ke persidangan, karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.
Baca juga : Tommy, Pemuda Jember yang Pertama Merasakan Restorative Justice
Sumedana juga menyebut bahwa pertimbangan sosiologis serta respon positif masyarakat terhadap langkah hukum restoratif untuk lima perkara tersebut menjadi pertimbangan pemberian penghentian penuntutan.
Sebagai tindak lanjut pengabulan permohonan penghentian penunutan tersebut, Sumedana menjelaskan, JAM-Pidum memerintahkan para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).
Pengabulan permohonan hingga penerbitan SKP2 itu, jelas Sumedana, sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
“Selain itu, dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat terkait apabila ada masyarakat yang ingin mengajukan permohonan restorative justice, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum membuka hotline layanan restorative justice,” kata Ketut Sumedana. (din)